SIDOARJO (mediasurabayarek.net) – Ahli
pidana, yakni Dr Prija Djadmika SH MH—dosen
Universitas Brawijaya (Unbraw)-- menyatakan, jika penyedia tidak mendapatkan
sesuatu dan tidak ada unsur menguntungkan diri sendiri, maka tidak dipenuhi
unsur pidana dan tidak ada tindak pidananya.
Dengan demikian, penyedia tidak dibebani pembayaran Uang
Pengganti (UP), karena tidak memperoleh keuntungan apapun.
Pernyataan ini disampaikan Ahli Pidana DR Prija Djadmika SH
MH dalam sidang lanjutan Ivonne dan Heny Sri Setyaningrum, yang tersandung
dugaan perkara korupsi pengadaan mobil siaga desa tahun 2022, di ruang Candra
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Surabaya.
Ketika Penasehat Hukum (PH) Ivonne, yakni Wihartono SH
bertanya pada Ahli, bagaimana pendapat ahli jika penyedia tidak mendapatkan atau
tidak ada unsur menguntukan diri sendiri ?
“Maka tidak dipenuhi unsur pidananya. Tidak ada tindak
pidananya. Bila tidak diperoleh keuntungan, maka tidak dibebani Uang Pengganti
(UP),” jawab Ahli.
Kembali PH Wihartono SH bertanya pada ahli, dalam pasal 55
KUHP, jika ada tindak pidana korupsi, maka siapa yang bertanggungjawab adanya
kerugian negara itu ?
“Pelaku utamanya adalah pihak yang menyuruh melakukan suatu
perbuatan itu. Pelakunya pejabat dan pemberi,” jawab Ahli lagi.
Ahli pidana menerangkan, bahwa perbuatan melawan hukum itu
bertentangan dengan aturan hukum pidana, baik perbuatan melawan hukum formil
maupun materiil. Pidana korupsi dalam pasal 2 UU Tipikor merupakan perbuatan
melawan hukum formil. Sedangkan pasal 3 UU Tipikor penyalahgunaan kewenangan.
Ini bentuk perbuatan melawan hukum dalam bentuk khusus.
Adanya unsur pidana itu bisa dalam bentuk kesengajaan dan
kealpaan (unsur subyektif), yakni menerima sesuatu karena jabatannya. Dalam
pengadaan barang dan jasa ada norma hukum, bahwa para pihak tidak boleh
menjanjikan atau mempengaruhi dalam bentuk apapun.
Penyelenggara dilarang menerima gratifikasi yang
merupakan kesengajaan, yang jelas-jelas memenuhi unsur perbuatan melawan hukum.
Penyalahgunaan wewenang merugikan keuangan negara yang riil dan nyata.
Ada pihak yang menjanjikan cashback dengan harapan
mendapatkan pekerjaan. Adanya kesengajaan dengan maksud agar membeli mobil dari
penyedia. Ini masuk pasal suap, karena menjanjikan sesuatu dan melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
Jikalau tidak mengembalikan kepada negara akan menjadi pasal
3 UU Tipikor. Baik pemberian diskon dan rabat harus masuk negara. Sebab adanya
meeting of mind (kesepakatan) melakukan tindak pidana.
Sebelum pengadaan, dijanjikan cashback Rp 15 juta, setelah
pekerjaan selesai. Cashback itu harus dikembalikan kepada negara.
Dijelaskan Ahli, bahwa panitia Lelang tidak melakukan
kewenangannya secara maksimal, maka yang
harus bertanggung jawab adalah pemilik kewenangan m yakni panitia Lelang
(Timlak).
Namun demikian, Ahli pidana menggarisbawahi, bahwa jika
karena dipaksa, maka tidak bisa dipidana. Masuk alasan pemaaf.
Sementara itu, Ahmad Baskoro –ahli pengadaan barang dan
jasa—menyatakan, jika proses pengadaan barang dan jasa dalam perencanaan
dilaksanakan secara tergesa-gesa dan tidak dapat melaksanakan secara maksimal.
“Jika perencanaan dari sisi waktu tidak cukup, bisa dibreak
(ditunda) dulu. Jika terjadi penyimpangan karena waktu mepet, tidak bisa
dipaksakan,” ujarnya.
Giliran Penasehat Hukum (PH) Ivonne, yakni Wihartono SH
bertanya pada Ahli Pengadaan barang dan jasa, jika proses Lelang tidak sesuai
LKPP dan Lelang dianggap cacat. Padahal sudah terjadi Lelang, pembayaran dan
penyerahan barang. Tolong Ahli jelaskan mengenai kriteria cacat itu seperti apa
?
Atas pertanyaan tersebut, Ahli tidak bisa memberikan jawaban
apapun. “Maaf saya tidak bisa menjawab pertanyaan Penasehat Hukum,” ucap Ahli
singkat saja.
Lagi-lagi, PH Wihartono SH bertanya pada Ahli, jika PPK tidak
menjalankan kewenangannya secara maksimal, apakah bisa dimintai pertanggungjawaban
?
“Bisa. Yang bertanggungjawab adalah pejabat Lelang (Timlak).
Juga PA (Pengguna Anggaran), yakni Kades bisa dimintai pertanggungjawaban pidana,”
jawab Ahli.
Dalam kesempatan itu, Aan Rahmawan dan Desi (ahli penghitungan
negara) menerangkan, pihaknya menghitung jumlah uang yang seharusnya tidak
dibayarkan kepada PT UMC dan PT SBT.
Hasil audit menunjukkan, bahwa adanya penyimpangan proposal
bantuan mobil, PPK (Timlak) tidak membuat dokumen lelang, penyedia menjanjikan
cashback, dan pelaksaan leleng tidak sesuai prosedur, serta adanya kerugian
negara.
Ada kerugian negara yang tidak seharusnya dibayarkan ke PT
UMC RP 4,335 miliar, dengan pembelian mobil di PT UMC. Sedangkan PT SBT RP 1,02
miliar, sebanyak 68 unit beli mobil di PT SBT.
Adanya pengembalian uang dari Ida sebesar Rp 525 juta dan
pengembalian dari Kades sebesar Rp 3,809 miliar.
Sehabis sidang, PH Wihartono SH mengatakan, Ivonne tidak
bisa dimintai pertanggungjawaban secara pidana, karena Ivonne tidak menikmati
hasil dan tidak menguntungkan diri sendiri. Malah Ivonne rugi , karena kehilangan
uang pribadinya sendiri sebesar Rp 1,02
miliar.
Tim auditor ada temuan ada 68 mobil yang beli di PT SBT, namun
faktanya tidak semua pembayaran sudah ditransfer ke PT SBT. Padahal auditor
tahu bahwa 5 desa tidak bayar ke PT SBT. Buktinya pembayarannya tidak ada. Tetapi,
bayarnya ke Heny Sri Setyaningrum.
Hasil audit itu menggeneralisir seolah-olah setiap kepala
desa (Kades) menerima uang Rp 15 juta. Dikalikan 68 unit yang dapatkan oleh PT
SBT, hasilnya Rp 1,02 miliar. Fakta persidangan, ada Kades yang mendapatkan Rp
3 juta, Rp 5 juta, RP 7 juta, Rp 10 juta, dan ada yang Rp 15 juta. Jadi tidak
merata. Jadi, kalau digeneralisir bahwa 68 unit dikalikan cashback Rp 15 juta,
maka hasil audit itu tidak tepat. (ded)
0 komentar:
Posting Komentar