728x90 AdSpace

  • Latest News

    Selasa, 14 Januari 2025

    Perkara Rifangi Adalah Perdata, Bukan Pidana. Tidak Bisa Serta-Merta Ditarik dan Masuk Pidana Korupsi

     




    SIDOARJO  (mediasurabayarek.net) –  Kali ini sidang lanjutan Moh. Rifangi dan Subandi dengan agenda mendengarkan pendapat dan keterangan dari Ahli Pidana, DR Sholehuddin SH MH dari Universitas Bhayangkara (Ubhara) yang membuat perkara ini menjadi semakin terang –benderang.

    Setelah Hakim Ketua Dewa Gede Suardhita SH membuka sidang yang terbuka untuk umum, langsung mempersilahkan Ketua Tim Penasehat Hukum (PH),  DR. Hufron SH.MH untuk bertanya pada Ahli Pidana terlebih dahulu.

    Lantas DR. Hufron SH.MH bertanya pada Ahli dengan mengilustrasikan, si-A diajak kerjasama oleh si-B untuk proyek pengadaan alat kesehatan. Lalu si –A mengajukan kredit pinjaman ke bank sebesar Rp 600 juta. Sebagai jaminan, si-A menggunakan jaminan SHM yang nilainya Rp 2,5 miliar, jauh melebihi pinjaman kreditnya. Setelah cair, uang pinjaman dipakai oleh si –B. Dalam perjalanannya, kredit itu mengalami macet. Namun, si-A yang melunasi pinjaman pokok, denda , dan bunga Rp 700 juta lebih. Dalam perkara ini, apakah bisa digunakan hukum pidana ?

    “Kita harus melihat hubungan hukum pertama kali dibangun oleh nasabah (si-A) dan perbankan. Hubungan hukumnya keperdataan. Untuk urusan kredit menggunakan aturan keperdataan dan perbankan. Nah, ketika terjadi masalah kredit macet, maka harus digunakan penyelesaian hukum perdata. Kecuali dalam perolehan kredit terjadi perbuatan satu delik tertentu,” jawab Ahli di ruang Cakra Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Surabaya, Selasa (14/12/2024).

    Delik di sini, menurut Ahli, misalnya ada syarat-syarat yang dipalsukan. Jika syarat-syarat pengajuan kredit dipenuhi. Atau ada syarat yang kurang, hal itu bukan pidana.

    “Ketika kredit macet, Rifangi hanya menjadi penjamin, karena yang menikmati pinjaman kredit adalah Subandi. Fakta sidang membuktikan bahwa tidak ada persekongkolan. Subandi yang kena pidana. Bukan Rifangi,” ujar Ahli ketika dikonfirmasi media massa selepas sidang.

    Dalam perkara Rifangi, seharusnya mengedepankan penyelesaian secara keperdataan. Bukan pidana. Tidak bisa serta-merta ditarik dan masuk dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) begitu saja.

    Demikian halnya, pengenaan  pasal 55 KUHP itu harus dibuktikan oleh Jaksa bentuk persekongkolan jahatnya, antara Rifangi dan Subandi, jika ada dan terbukti.

    Fakta di persidangan,  tidak terbukti adanya persekongkolan itu. Maka, Rifangi tidak bisa dipidana secara hukum.

    “Dalam perkara ini, yang bisa dipidana adalah Subandi dan orang bank. Rifangi tidak bisa dipidana,” cetus Ahli singkat.

    Nah, setelah Ahli memberikan pendapat dan keterangannya di depan persidangan dan dirasakan sudah cukup, Hakim Ketua Dewa Gede Suardhita SH mengatakan, sidang selanjutnya adalah agenda saling menjadi saksi (Rifangi dan Subandi) pada Selasa 21 Januari 2021.

    “Baiklah dengan demikian, kami nyatakan sidang ini selesai dan ditutup,” katanya seraya mengetukkan palunya sebagai pertanda sidang berakhir.

    Sehabis sidang, DR. Hufron SH.MH menegaskan, intinya perkara ini adalah perdata. Tetapi, kalau ada unsur pidananya, ya pidana perbankan. Bukan tindak pidana korupsi. Dasarnya pasal 14 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR).

    “Jadi tidak bisa kemudian tiba-tiba digeser pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor. Dan kaitannya dengan pasal 55 KUHP itu harus ada syarat ‘meeting 0f mind’/harus ada kesepakatan bersama yang disebut persekongkolan jahat. Kalau tidak ada persekongkolan jahat dan tidak ada meeting of mind, tidak ada kesadaran bersama untuk memenuhi unsur delik, tidak bisa terpenuhi pasal 55 KUHP. Harus dibuktikan debitur itu berperan apa dan kapasitas apa,” ungkapnya.

    Dalam persidangan juga disinggung, SKMHT belum ditingkatkan menjadi APHT oleh pihak bank, sehingga jaminan atau agunan tidak bisa dilelang. Hal itu  adalah kesalahan pihak bank.

    Apalagi nilai jaminan berupa sertifikat tanah dan bangunan yang diberikan pada bank senilai Rp 2,5 miliar. Nilai jaminan jauh lebih tinggi dibandingkan pinjaman yang hanya Rp 600 juta. Dengan adanya pelunasan itu tidak ada kerugian negara. (ded)

     

     

     


    • Blogger
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Perkara Rifangi Adalah Perdata, Bukan Pidana. Tidak Bisa Serta-Merta Ditarik dan Masuk Pidana Korupsi Rating: 5 Reviewed By: Media Surabaya Rek
    Ke Atas