SIDOARJO (mediasurabayarek.net)
– Kali ini sidang lanjutan Moh. Rifangi
dan Subandi dengan agenda mendengarkan pendapat dan keterangan dari Ahli
Pidana, DR Sholehuddin SH MH dari Universitas Bhayangkara (Ubhara) yang membuat
perkara ini menjadi semakin terang –benderang.
Setelah Hakim Ketua Dewa
Gede Suardhita SH membuka sidang yang terbuka untuk umum, langsung
mempersilahkan Ketua Tim Penasehat Hukum (PH), DR. Hufron SH.MH untuk bertanya pada Ahli
Pidana terlebih dahulu.
Lantas DR. Hufron SH.MH bertanya
pada Ahli dengan mengilustrasikan, si-A diajak kerjasama oleh si-B untuk proyek
pengadaan alat kesehatan. Lalu si –A mengajukan kredit pinjaman ke bank sebesar
Rp 600 juta. Sebagai jaminan, si-A menggunakan jaminan SHM yang nilainya Rp 2,5
miliar, jauh melebihi pinjaman kreditnya. Setelah cair, uang pinjaman dipakai
oleh si –B. Dalam perjalanannya, kredit itu mengalami macet. Namun, si-A yang
melunasi pinjaman pokok, denda , dan bunga Rp 700 juta lebih. Dalam perkara
ini, apakah bisa digunakan hukum pidana ?
“Kita harus melihat
hubungan hukum pertama kali dibangun oleh nasabah (si-A) dan perbankan. Hubungan
hukumnya keperdataan. Untuk urusan kredit menggunakan aturan keperdataan dan
perbankan. Nah, ketika terjadi masalah kredit macet, maka harus digunakan
penyelesaian hukum perdata. Kecuali dalam perolehan kredit terjadi perbuatan
satu delik tertentu,” jawab Ahli di ruang Cakra Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (TIPIKOR) Surabaya, Selasa (14/12/2024).
Delik di sini, menurut
Ahli, misalnya ada syarat-syarat yang dipalsukan. Jika syarat-syarat pengajuan
kredit dipenuhi. Atau ada syarat yang kurang, hal itu bukan pidana.
“Ketika kredit macet,
Rifangi hanya menjadi penjamin, karena yang menikmati pinjaman kredit adalah
Subandi. Fakta sidang membuktikan bahwa tidak ada persekongkolan. Subandi yang
kena pidana. Bukan Rifangi,” ujar Ahli ketika dikonfirmasi media massa selepas
sidang.
Dalam perkara Rifangi,
seharusnya mengedepankan penyelesaian secara keperdataan. Bukan pidana. Tidak
bisa serta-merta ditarik dan masuk dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) begitu saja.
Demikian halnya,
pengenaan pasal 55 KUHP itu harus
dibuktikan oleh Jaksa bentuk persekongkolan jahatnya, antara Rifangi dan
Subandi, jika ada dan terbukti.
Fakta di persidangan, tidak terbukti adanya persekongkolan itu.
Maka, Rifangi tidak bisa dipidana secara hukum.
“Dalam perkara ini, yang
bisa dipidana adalah Subandi dan orang bank. Rifangi tidak bisa dipidana,”
cetus Ahli singkat.
Nah, setelah Ahli
memberikan pendapat dan keterangannya di depan persidangan dan dirasakan sudah
cukup, Hakim Ketua Dewa Gede Suardhita SH mengatakan, sidang selanjutnya adalah
agenda saling menjadi saksi (Rifangi dan Subandi) pada Selasa 21 Januari 2021.
“Baiklah dengan
demikian, kami nyatakan sidang ini selesai dan ditutup,” katanya seraya
mengetukkan palunya sebagai pertanda sidang berakhir.
Sehabis sidang, DR.
Hufron SH.MH menegaskan, intinya perkara ini adalah perdata. Tetapi, kalau ada
unsur pidananya, ya pidana perbankan. Bukan tindak pidana korupsi. Dasarnya
pasal 14 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR).
“Jadi tidak bisa
kemudian tiba-tiba digeser pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor. Dan kaitannya dengan
pasal 55 KUHP itu harus ada syarat ‘meeting 0f mind’/harus ada kesepakatan
bersama yang disebut persekongkolan jahat. Kalau tidak ada persekongkolan jahat
dan tidak ada meeting of mind, tidak ada kesadaran bersama untuk memenuhi unsur
delik, tidak bisa terpenuhi pasal 55 KUHP. Harus dibuktikan debitur itu
berperan apa dan kapasitas apa,” ungkapnya.
Dalam persidangan juga
disinggung, SKMHT belum ditingkatkan menjadi APHT oleh pihak bank, sehingga
jaminan atau agunan tidak bisa dilelang. Hal itu adalah kesalahan pihak bank.
Apalagi nilai jaminan
berupa sertifikat tanah dan bangunan yang diberikan pada bank senilai Rp 2,5
miliar. Nilai jaminan jauh lebih tinggi dibandingkan pinjaman yang hanya Rp 600
juta. Dengan adanya pelunasan itu tidak ada kerugian negara. (ded)
0 komentar:
Posting Komentar