SIDOARJO (mediasurabayarek.net) – Kembali sidang Moh. Rifangi dan Subandi dilanjutkan dengan agenda saling menjadi saksi yang digelar di ruang Cakra Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Surabaya, Selasa (21/1/2025).
Setelah Hakim Ketua Dewa
Gedhe Suardhita SH MH membuka sidang dan terbuka untuk umum, langsung
memberikan kesempatan kepada oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yudha SH dari
Kejaksaan Negeri (Kejari) Blitar, untuk bertanya pada Rifangi terlebih dahulu.
JPU Yudha SH bertanya
pada Rifangi, apakah benar pinjaman kredit dari BPR Hambangun Arta Selaras
(HAS) yang saudara ajukan itu dipakai
oleh Subandi ? Bisa saudara jelaskan ?
“Ya, benar Pak Jaksa.
Mulanya, Subandi mendatangi Rifangi dan minta dicarikan pinjaman dana karena ada
proyek pengadaan alat kesehatan di RSUD Kertosono sebesar Rp 600 juta,” jawab
Rifangi.
Rifangi menyatakan,untuk
mencarikan pinjaman dana itu, harus ada jaminan sertifikat dan SPK. Atas SPK
yang dibawa oleh Subandi, Rifangi percaya begitu saja.
“Saya tidak mengecek
kebenaran atas SPK itu. Saya percaya –percaya saja. Mengingat hutang Subandi
sebelumnya lancar,” ujarnya.
Untuk meyakinkan
Rifangi, Subandi juga menyerahkan dua sertifikat atas nama orang lain (Robertus dan Yayuk).
Hal itu dilakukan untuk pegangan kepercayaan saja. Karena sertifikat itu bukan
atas nama Subandi, Rifangi pun tidak bisa ngapa-ngapain atas sertifikat
tersebut.
“Sertifikat itu
diserahkan ke Rifangi untuk pengurangan utang. Nilainya sekitar Rp 350 juta.
Dan saya anggap menerima Rp 400 juta,” ucapnya.
Nah, setelah pencairan
kredit dari BPR Hambangun Arta Selaras sebesar Rp 600 juta, dibuatlah
perjanjian borgtocht yang isinya bahwa Subandi yang akan bertanggungjawab dan
melunasi hutang bank tersebut.
Terkait SKMHT, Rifangi
dan istri datang ke notaris. Lantas notaris datang ke rumah untuk minta cap
jempol, Kamsija (ibu dari Rifangi), paska terkena stroke. Lantas kredit cair Rp
600 juta dan uang itu diserahkan ke Subandi.
Dan Subandi menjanjikan pada Rifangi, jika ada keuntungan akan diberikan sebesar 10 persen. Juga dibuat perjanjian borgtocht , bahwa Subandi yang akan bertanggungjawab atas hutang bank tersebut dan melunasi hutang itu.
Namun, faktanya, bahwa
yang melunasi hutang adalah Rifangi dengan membayar pokok pinjaman, bunga, dan
denda sebesar Rp 781 juta pada 28 Februari 2024 lalu. Padahal hutangnya hanya
Rp 600 juta.
Kini, giliran Ketua Tim
Penasehat Hukum (PH)-nya, DR. Hufron SH.MH bertanya pada Rifangi, apakah ada
perjanjian tertulis antara Subandi dan Rifangi untuk penyediaan alat kesehatan
itu ?
“Tidak ada perjanjian
tertulis, hanya lisan saja. Saya percaya pada Subandi. Pengajuan kredit atas
nama Rifangi dengan jaminan sertifikat atas nama orang tua Rifangi. Subandi
bawa SPK dan terbitkan BG senilai RP 600 juta. Sedangkan nilai kreditnya Rp 600
juta,” jawab Rifangi.
Kembali DR. Hufron SH.MH
bertanya pada Rifangi, kapan saudara mengetahui
SPK yang dibawa Subandi diketahui fiktif dan BG kosong ?
“Jauh setelah pencairan
oleh bank, saya tahu bahwa diduga SPK fiktif dan BG kosong. SPK berlaku 1 tahun anggaran. Subandi
berdalih, SPK tidak palsu, tetapi proyek pengadaan alat kesehatan tidak jadi
atau ditunda. Dan dialihkan yang lain,” jawab Rifangi.
Nah, setelah kredit
macet, Subandi bikin surat pernyataan di hadapan pihak bank. Bahwa yang
bertanggungjawab atas seluruh pinjaman kredit bank adalah Subandi.
“Saya niat baik membantu
teman, malah ditipu dan dibohongi. Saya sakit hati dan kecewa, serta stress.
Saya percaya Subandi, tidak tahunya jadinya seperti ini. Kalau sejak awal, saya
tahu SPK-nya palsu, saya tidak akan mengajukan atau melanjutkan pengajuan
kredit ke bank,” kata Rifangi.
Dijelaskannya, bahwa
sertifikat yang diagunkan ke bank nilainya Rp 2,5 miliar, jauh di atas pinjaman
kredit Rp 600 juta. Proses pengajuan kredit hingga pencairan, Rifangi tidak
pernah menjanjikan sesuatu pada pihak bank.
Sebenarnya pada Oktober
2023, Rifangi mengajukan permohonan pelunasan dan pengurangan bunga dan denda
pada bank. Tetapi, bank bilang ada dugaan korupsi dan menjadi kewenangan
kejaksaan.
Lantas, mengirim surat ke Kejaksaan dan tidak ada jawaban. Namun setelah menjadi tersangka, diijinkan oleh bank untuk pelunasan. Dari semula Rp 900 juta menjadi Rp 781 juta.
Dalam persidangan,
Subandi mengakui, bahwa yang menandatangani SPK RSUD Kertosono pada kolom Zainal
Abidin adalah Subandi sendiri. Makanya, SPK diduga palsui.
Sementara itu Hakim
Ketua, Dewa SH bertanya pada Rifangi, berapa saudara melunasi pinjaman bank ?
“Saya membayar Rp 781
juta ke bank dan lunas,”jawab Rifangi singkat saja.
Setelah saling menjadi
saksi dan pemeriksaan Rifangi dan Subandi dirasakan sudah cukup, Hakim Ketua Dewa
SH mengatakan, agenda sidang berikutnya adalah penuntutan dari Jaksa pada
Selasa, 4 Februari 2025 mendatang.
“Tolong Jaksa tuntutan
pada Selasa (4/2/2025) nanti ya,” ungkapnya seraya mengetukkan palunya sebagai
pertanda sidang selesai dan ditutup.
Sehabis sidang, DR.
Hufron SH.MH menegaskan, bahwa perbuatan bisa dipidana , kalau ada peristiwa dan ada mens-rea (niat jahat)-nya.
Kalau ditelusuri itu bisa dicari, sebenarnya siapa yang memiliki niat jahat
itu.
“Awalnya Subandi membutuhkan dana talangan , kenapa tidak mengurus sendiri dan pinjam di bank. Katanya, bahwa dia masih punya tanggungan. Artinya dia di BI checking tidak klir. Tetapi, ketika tidak klir , masih mencari lewat temannya. Dengan kebaikan hati mau dan meminjamkan dana ke bank. Tetapi di Rp 350 juta, dia mengeluarkan SPK , cek, dan borgtocht . Tidak ada masalah, karena ceknya ada dananya,” tukasnya.
Menurut DR. Hufron SH.MH, tetapi yang di kedua,
SPK-nya fiktif dan tidak ada proyek pengadaan alat kesehatan itu. Subandi tidak
memberitahukan secara jujur dan terbuka ke Rifangi. Sehingga kreditnya macet,
karena proyeknya tidak ada.
“Subandi tidak jujur
pada Pak Rifangi. Mens-reanya ada di situ, ada niat jahatnya di situ. Masuk
pidana umum, dia (Subandi) yang memalsukan SPK. Seharusnya dia diproses pidana,
bukan melalui Tipikor. Menurut saya, kasus ini bukan masuk kasus pidana, tetapi
perdata. Kalau kemudian ada unsur pidana, siapa yang melakukan, maka dia yang
harus bertanggungjawab,” tandasnya.
Seharusnya perkara ini
adalah perkara perdata yaitu kredit macet, maka diselesaikan secara perdata
dengan melakukan lelang terhadap jaminan. Tetapi kalau hal itu tidak dilakukan,
maka tentunya bukan wilayah debitur. Tetapi bagian dari bank.
Dakwaan Jaksa batal demi
hukum, karena ketidak hati-hatian pihak bank. (ded)
0 komentar:
Posting Komentar