728x90 AdSpace

  • Latest News

    Rabu, 22 Januari 2025

    DR. Hufron SH.MH : "Kasus Ini Bukan Masuk Kasus Pidana, Tetapi Perdata"

     

                           


    SIDOARJO  (mediasurabayarek.net) –  Kembali sidang Moh. Rifangi dan Subandi dilanjutkan dengan agenda saling menjadi saksi yang digelar di ruang Cakra Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Surabaya, Selasa (21/1/2025).

    Setelah Hakim Ketua Dewa Gedhe Suardhita SH MH membuka sidang dan terbuka untuk umum, langsung memberikan kesempatan kepada oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yudha SH dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Blitar, untuk bertanya pada Rifangi terlebih dahulu.

    JPU Yudha SH bertanya pada Rifangi, apakah benar pinjaman kredit dari BPR Hambangun Arta Selaras (HAS)  yang saudara ajukan itu dipakai oleh Subandi ? Bisa saudara jelaskan ?

    “Ya, benar Pak Jaksa. Mulanya, Subandi mendatangi Rifangi dan minta dicarikan pinjaman dana karena ada proyek pengadaan alat kesehatan di RSUD Kertosono sebesar Rp 600 juta,” jawab Rifangi.

    Rifangi menyatakan,untuk mencarikan pinjaman dana itu, harus ada jaminan sertifikat dan SPK. Atas SPK yang dibawa oleh Subandi, Rifangi percaya begitu saja.

    “Saya tidak mengecek kebenaran atas SPK itu. Saya percaya –percaya saja. Mengingat hutang Subandi sebelumnya lancar,” ujarnya.

    Untuk meyakinkan Rifangi, Subandi juga menyerahkan dua sertifikat  atas nama orang lain (Robertus dan Yayuk). Hal itu dilakukan untuk pegangan kepercayaan saja. Karena sertifikat itu bukan atas nama Subandi, Rifangi pun tidak bisa ngapa-ngapain atas sertifikat tersebut.

    “Sertifikat itu diserahkan ke Rifangi untuk pengurangan utang. Nilainya sekitar Rp 350 juta. Dan saya anggap menerima Rp 400 juta,” ucapnya.

    Nah, setelah pencairan kredit dari BPR Hambangun Arta Selaras sebesar Rp 600 juta, dibuatlah perjanjian borgtocht yang isinya bahwa Subandi yang akan bertanggungjawab dan melunasi hutang bank tersebut.

    Terkait SKMHT, Rifangi dan istri datang ke notaris. Lantas notaris datang ke rumah untuk minta cap jempol, Kamsija (ibu dari Rifangi), paska terkena stroke. Lantas kredit cair Rp 600 juta dan uang itu diserahkan ke Subandi.

    Dan Subandi menjanjikan pada Rifangi, jika ada keuntungan akan diberikan sebesar 10 persen. Juga dibuat perjanjian borgtocht , bahwa Subandi yang akan bertanggungjawab atas hutang bank tersebut dan melunasi hutang itu.

    Namun, faktanya, bahwa yang melunasi hutang adalah Rifangi dengan membayar pokok pinjaman, bunga, dan denda sebesar Rp 781 juta pada 28 Februari 2024 lalu. Padahal hutangnya hanya Rp 600 juta.

    Kini, giliran Ketua Tim Penasehat Hukum (PH)-nya, DR. Hufron SH.MH bertanya pada Rifangi, apakah ada perjanjian tertulis antara Subandi dan Rifangi untuk penyediaan alat kesehatan itu ?

    “Tidak ada perjanjian tertulis, hanya lisan saja. Saya percaya pada Subandi. Pengajuan kredit atas nama Rifangi dengan jaminan sertifikat atas nama orang tua Rifangi. Subandi bawa SPK dan terbitkan BG senilai RP 600 juta. Sedangkan nilai kreditnya Rp 600 juta,” jawab Rifangi.

    Kembali DR. Hufron SH.MH bertanya pada Rifangi, kapan saudara mengetahui  SPK yang dibawa Subandi diketahui fiktif dan BG kosong ?

    “Jauh setelah pencairan oleh bank, saya tahu bahwa diduga SPK fiktif dan BG kosong.  SPK berlaku 1 tahun anggaran. Subandi berdalih, SPK tidak palsu, tetapi proyek pengadaan alat kesehatan tidak jadi atau ditunda. Dan dialihkan yang lain,” jawab Rifangi.

    Nah, setelah kredit macet, Subandi bikin surat pernyataan di hadapan pihak bank. Bahwa yang bertanggungjawab atas seluruh pinjaman kredit bank adalah Subandi.

    “Saya niat baik membantu teman, malah ditipu dan dibohongi. Saya sakit hati dan kecewa, serta stress. Saya percaya Subandi, tidak tahunya jadinya seperti ini. Kalau sejak awal, saya tahu SPK-nya palsu, saya tidak akan mengajukan atau melanjutkan pengajuan kredit ke bank,” kata Rifangi.

    Dijelaskannya, bahwa sertifikat yang diagunkan ke bank nilainya Rp 2,5 miliar, jauh di atas pinjaman kredit Rp 600 juta. Proses pengajuan kredit hingga pencairan, Rifangi tidak pernah menjanjikan sesuatu pada pihak bank.

    Sebenarnya pada Oktober 2023, Rifangi mengajukan permohonan pelunasan dan pengurangan bunga dan denda pada bank. Tetapi, bank bilang ada dugaan korupsi dan menjadi kewenangan kejaksaan.

    Lantas, mengirim surat ke Kejaksaan dan tidak ada jawaban. Namun setelah menjadi tersangka, diijinkan oleh bank untuk pelunasan. Dari semula Rp 900 juta menjadi Rp 781 juta.

    Dalam persidangan, Subandi mengakui, bahwa yang menandatangani SPK RSUD Kertosono pada kolom Zainal Abidin adalah Subandi sendiri. Makanya, SPK diduga palsui.

    Sementara itu Hakim Ketua, Dewa SH bertanya pada Rifangi, berapa saudara melunasi pinjaman bank ?

    “Saya membayar Rp 781 juta ke bank dan lunas,”jawab Rifangi singkat saja.

    Setelah saling menjadi saksi dan pemeriksaan Rifangi dan Subandi dirasakan sudah cukup, Hakim Ketua Dewa SH mengatakan, agenda sidang berikutnya adalah penuntutan dari Jaksa pada Selasa, 4 Februari 2025 mendatang.

    “Tolong Jaksa tuntutan pada Selasa (4/2/2025) nanti ya,” ungkapnya seraya mengetukkan palunya sebagai pertanda sidang selesai dan ditutup.

    Sehabis sidang, DR. Hufron SH.MH menegaskan, bahwa perbuatan bisa dipidana , kalau ada  peristiwa dan ada mens-rea (niat jahat)-nya. Kalau ditelusuri itu bisa dicari, sebenarnya siapa yang memiliki niat jahat itu.

    “Awalnya Subandi membutuhkan dana talangan , kenapa tidak mengurus sendiri dan pinjam di bank. Katanya, bahwa dia masih punya tanggungan. Artinya dia di BI checking tidak klir. Tetapi, ketika tidak klir , masih mencari lewat temannya. Dengan kebaikan hati mau dan meminjamkan dana ke bank. Tetapi di Rp 350 juta, dia mengeluarkan SPK , cek, dan borgtocht . Tidak ada masalah, karena ceknya ada dananya,” tukasnya.

    Menurut  DR. Hufron SH.MH, tetapi yang di kedua, SPK-nya fiktif dan tidak ada proyek pengadaan alat kesehatan itu. Subandi tidak memberitahukan secara jujur dan terbuka ke Rifangi. Sehingga kreditnya macet, karena proyeknya tidak ada.

    “Subandi tidak jujur pada Pak Rifangi. Mens-reanya ada di situ, ada niat jahatnya di situ. Masuk pidana umum, dia (Subandi) yang memalsukan SPK. Seharusnya dia diproses pidana, bukan melalui Tipikor. Menurut saya, kasus ini bukan masuk kasus pidana, tetapi perdata. Kalau kemudian ada unsur pidana, siapa yang melakukan, maka dia yang harus bertanggungjawab,” tandasnya.

    Seharusnya perkara ini adalah perkara perdata yaitu kredit macet, maka diselesaikan secara perdata dengan melakukan lelang terhadap jaminan. Tetapi kalau hal itu tidak dilakukan, maka tentunya bukan wilayah debitur. Tetapi bagian dari bank.

    Dakwaan Jaksa batal demi hukum, karena ketidak hati-hatian pihak bank. (ded)

     

     

     

     


    • Blogger
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: DR. Hufron SH.MH : "Kasus Ini Bukan Masuk Kasus Pidana, Tetapi Perdata" Rating: 5 Reviewed By: Media Surabaya Rek
    Ke Atas