SIDOARJO (mediasurabayarek.net) – Sidang lanjutan Reni Triana (Dir. Operasional BPRS), Choirudin (Dirut BPRS), Bambang Gatot Setiono (warga Nganjuk) , Hendra Agus Wijaya (warga Kota Mojokerto) , dan Sudarso (warga Malang), yang tersandung dugaan perkara korupsi pembiayaan PT Bank Pembiayaan Rakyat Syairah (BPRS) Kota Mojokerto Tahun Anggaran (TA) 2017-2020, digelar di ruang Candra Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Surabaya.
Kali ini dengan agenda
saling menjadi saksi di persidangan. Reni Triana yang pertama kali diperiksa
sebagai saksi, yang dilanjutkan dengan Bambang Gatot, Hendra Agus, dan
Sudarso..
Setelah Hakim Ketua
Sudarwanto SH membuka sidang dan terbuka untuk umum, langsung memberikan kesempatan
kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Teza Rahardian SH dari Kejaksaan Negeri
(Kejari) Kota Mojokerto, untuk bertanya pada Reni Triana.
Jaksa Teza SH bertanya
pada Reni, apakah 29 pembiayaan yang didakwakan itu, seluruhnya diketahui oleh
Dirut BPRS, Choirudin ?
“Ya, 29 pembiayaan itu
seluruhnya diketahui oleh Dirut BPRS. Pembiayaan itu diberikan, terkait adanya
MoU (kerjasama) antara BPRS dan PUPR dengan SPK di bawah Rp 200 juta. Pada juni
2017, ada Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK di Dinas PUPR, sehingga tidak bisa
melakukan penagihan pada CV-CV yang pengajuan kredit pinjamannya sudah
dicairkan,” jawab Reni.
Nah, setelah OTT KPK
berselang, kembali dilakukan penagihan terhadap CV-CV tersebut, dengan melakukan
koordinasi dengan Dirut BPRS. Pesan Dirut Choirudin, agar jangan sampai jadi
NPL (Non Performance Loan/ Kredit Macet).
“Lantas, BPRS bertemu
dengan seluruh debitur, yakni Hendra, Bambang, Sudarso, dan Kukuh. Kemudian
BPRS memberikan tagihan pada mereka. Ada
pembiayaan Sudarso sekitar Rp 2 miliar,” ucap Reni.
Menurut Reni, dewan
direksi punya keyakinan taksiran agunan bisa mengkover seluruh pembiayaan pada
awalnya. Pada 29 pembiayaan itu, semuanya sesuai akad dan diproses oleh Reni.
Ada pula beberapa pembiayaan yang tidak diikat hak tanggungan (APHT).
“(Ternyata- red) Proyek
pembiayaan tidak bisa dijadikan sumber pengembalian pembiayaan kredit pinjaman.
Itupun baru tahu ketika penyelidikan,” ujarnya.
Sementara itu, Dirut
BPRS Choirudin menyatakan, pada akhirnya dia baru tahu bahwa proyek-proyek itu
fiktif. Dari 29 pembiayaan yang didakwakan oleh Jaksa, itu ada yang tidak
diketahuinya.
“Untuk pembiayaan 28,
ada yang tidak ada tanda tangan saya. Pembiayaan Hendra sebesar Rp 3,84 miliar,
diketahui jaminannya tidak sesuai dan tidak ada pengikatan notaris. Ada pula
pembiayaan yang tidak diproses, tetapi saya lupa. Namun sudah cair,
pencairannya ke mana , saya tidak tahu,” kata Choirudin.
Sedangkan, Sudarso
menerangkan, bahwa pembiayaan atas nama Sudarso sebesar Rp 166 juta tidak
jelas.
“Saya tidak pernah terima
pencairan uangnya. Untuk menutupi pembiayaan sebelumnya. Untuk pembiayaan nomor
22 atas nama CV Bhakti Utama senilai Rp 300 juta. Uang cair untuk membayar
Bambang,” cetusnya.
Giliran Penasehat Hukum
(PH) dari Sudarso, yakni Yesaya SH bertanya pada Sudarso, apakah dapat
dikonfirmasi dari Dirut atau teller,terhadap transaksi pembiayaan tersebut ?
“Tidak ada konfirmasi
dari Dirut atau teller. Hanya penagihan (yang dikonfirmasi). Tetapi, ada tanda
tangan kontrak,” jawab Sudarso.
Ditambahkan Reni Triana,
terkait pembiayaan nomor 22 atas nama CV Bhakti Utama, perihal tarik tunai Rp
57 juta.
“Pernah berikan tunai,
selain Sudarso, saya tidak tahu. Akad kredit Rp 300 juta, dipakai angsuran atau
pembiayaan lain. Sisanya Rp 57 juta itu,” terang Reni.
Nah, setelah kelimanya
(Reni, Choirudin, Hendra, Bambang, dan Sudarso) saling menjadi saksi dan
pemeriksaan mereka, Hakim Ketua Sudarwanto mengatakan, agenda saling jadi saksi
dan pemeriksaan kelimanya sudah selesai. Maka kini giliran Jaksa melakukan
penuntutan.
“Untuk tuntutan Jaksa
pada Jum’at , 13 Desember 2024 mendatang,” jelasnya seraya mengetukkan palunya
sebagai pertanda sidang selesai dan ditutup.
Sehabis sidang, Penasehat
Hukum (PH) dari Sudarso, yakni Yesaya SH mengungkapkan, majelis hakim
menekankan barang siapa yang telah menyetujui adanya pembiayaan, maka mereka
lah yang bertanggungjawab.
Ada satu poin yang
sebenarnya dari pihak Sudarso ingin menunjukkan di muka sidang, yaitu adanya
penggunaan dana yang dilakukan oleh Direksi (Dir.Ops) , Reni Triana. Karena ada
satu pembiayaan, yang diajukan oleh CV Bhakti Utama, Dirutnya adalah Sudarso. Dan
telah cair dana pembiayaan tersebut, tetapi ada satu item dalam pembiayaan itu,
dilakukan penarikan tunai.
Penarikan tunai
tersebut, nominalnya Rp 57 juta. Di mana, Rp 30 juta itu diberikan tunai oleh
Reni Triana terhadap Bambang. Sebenarnya itu, yang dibuktikan dalam persidangan
hari ini.
Tetapi, majelis hakim
menganggap hal itu sesuai tanggungjawabnya masing-masing terdakwa.
Dalam kesempatan itu, PH
Yesaya SH menerangkan, menurut dakwaan total pinjaman Sudarso sebesar Rp 6,5
miliar itu, baik pembiayaan pokok dan ‘penyikapan’ yang dilakukan pihak BPRS. Ada
sekitar 12 pembiayaan untuk Sudarso, namun nilai berbeda-beda. Namun, yang
digunakan Sudarso hanya RP 2,5 miliar. Sedangkan, sisanya dipakai oleh orang lain.
“Namun, sudah ada
pengembalian RP 200 juta yang sudah dititipkan ke Kejaksaan Kota Mojokerto.
Sisanya belum , karena Sudarso ini hanya digunakan pinjam namanya,” terangnya.
“Harapannya, Sudarso
dapat keringanan hukuman yang adil. Bisa mendapatkan putusan yang adil.
(Sebenarnya) makernya itu ada di Reni, yang mengatur semuanya. Untuk aliran
dana, hampir 80 persen masuk ke Bambang atau Hendra. Nanti, akan disampaikan
pada pembelaan,” tukasnya.
Intinya, lanjut Yesaya
SH, bahwa peranan dari Sudarso paling kecil atau paling kasihan dibandingkan
lainnya (Reni Triana, Choirudin, Bambang Gatot , dan Hendra).
“Paranan Sudarso paling
kecil atau paling kasihan dibandingkan lainnya,” tandasnya mengakhiri wawancara
dengan media massa di Pengadilan TIPIKOR Surabaya, Jum’at (6/12/2024).
Sebagaimana diketahui, laporan
hasil audit perhitungan kerugian Negara yang dilakukan oleh BPKP sebesar Rp 29,149 miliar. Mereka didakwa
melanggar pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 jo pasal 18 UU RI. Nomor 31 Tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana telah dirubah dengan
UU RI. Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI No.31 Tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-KUHP jo
pasal 64 KUHP. (ded)
0 komentar:
Posting Komentar