SIDOARJO (mediasurabayarek.net)
– Ahli pidana,Dr Sholehudin SH MH dari
Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya menegaskan, bahwa suatu perbuatan
yang dilakukan seseorang dan ada beberapa yang ditemukan. Kemudian pemeriksaan
dan penuntutan, hingga mendapatkan kekuatan hukum tetap. Maka tidak boleh
diputus lagi.
“Penuntutan tidak boleh
diincrit-incrit (dicicil-red) atau penuntutan terhadap kasus serupa tidak boleh
dilakukan oleh Penuntut Umum. Jika hal ini sampai dilakukan dikatakan ‘Nebis In
Idem’,” ucap Ahli dalam sidang lanjutan Mantan Bupati Probolinggo, Puput
Tantriana Sari dan Hasan Aminuddin, yang digelar di ruang Candra Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Surabaya, Kamis (12/12/2024).
Demikian halnya dengan
Logis Sitatis, pemeriksaan perkara berbarengan, namun jika ditemukan perbuatan
hukum, jangan sampai ada penuntutan ulang. Di sini, harusada kepastian hukum.
Penegakan hukum, harus dengan hukum agar tidak sampai terjadi
kesewenang-wenangan.
Giliran Penasehat Hukum
(PH) Kristanto SH dan Ari Mukti SH bertanya pada Ahli, yang bertanya dengan
ilustrasi yang disampaikan di persidangan. Ada 2 (dua) sprindik yang
diterbitkan penyidik, yakni sprindik suap dan sprindik gratifikasi dan TPPU
(Tindak Pidana Pencucian Uang). Sprindik itu diterbitkan beda tahun dan
harinya.
Dalam perkara itu,
subyek hukumnya si A dan si B, apakah dapat dikategorikan Nebis In Idem ?
“Ya, Nebis In Idem. Jika
ada peristiwa sejak awal dan penyidik tahu akan hal itu. Penyidik harus mencari
bukti-bukti guna menemukan tersangkanya. Jika sprindik diterbitkan dua kali,
ini tidak boleh. Penuntutan tidak boleh dipisah-pisah begitu. Ujung-ujungya
sama, merugikan tersangka. Sedangkan hakim bertugas untuk menegakkan hukum dan
keadilan,” jawab Ahli Dr Sholehudin SH
MH, yang juga Ketua Program Studi (Prodi) Magister Hukum Universitas
Bhayangkara Surabaya ini.
Menurutnya, seseorang
boleh dituntut kembali, jika orangnya beda. Ada delik yang tertinggal dan
tahunya belakangan.
Kembali PH Ari Mukti SH
bertanya pada Ahli, tolong dijelaskan mengenai suap dan gratifikasi itu dan apa
bedanya ?
“Pada dasarnya,
gratifikasi itu suap. Akan tetapi, rumusan suap dan gratifiasi itu berbeda.
Fakta pokoknya, penerimaan suap. Bahwa setiap pemberian pada PNS atau
penyelenggara negara dianggap suap,” jawab Ahli lagi.
Dianggap gratifikasi
jika berhubungan dengan jabatannya sebagai penyelenggara Negara dan bertentangan
dengan kewajibannya. Jika gratifikasi nilainya Rp 10 juta ke atas, maka beban
pembuktian ada pada tersangka.
Dan sebaliknya, jika
nilai gratifikasinya di bawah Rp 10 juta, menjadi beban pembuktian Jaksa.
Ahli memberikan contoh,
pejabat negara mantu (menikahkan anaknya) dan ada undangan yang bowo
(memberikan uang) sebesar Rp 1 miliar. Apakah pemberian itu ada hubungan dengan
jabatan yang punya hajatan atau pejabat yang bersangkutan.
Di sini, harus dibuktika
dulu apakah adanya gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan
dengan kewajibannya. Ini sebagaimana diterangkan dalam pasal 13 huruf B.
“Dalam hukum pidana
tidak bisa digebyah uyah (disamaratakan-red). Misalnya dalam deneming
(penyertaan) harus jelas aktornya dan pembantunya siapa. Kapasitasdan kualitas
perbuatan harus dibuktikan,” cetus Ahli.
Sementara itu, Hasan yang
diberikan kesempatan bertanya pada Ahli, jika dalam fakta sidang, semua
pemborong dan pejabat tidak pernah menghadap tersangka utama. Tetapi menghadap
turut serta. Dakwaan Jaksa seakan-akan dari awal berasumsi. Bahkan disumpah
Al-qur’an satu truk berani. Bagaimana pendapat Ahli ?
“Harus dibuktikan dan
berhubungan dengan jabatan,” jawab Ahli.
Lagi-lagi Hasan bertanya
pada Ahli, bahwa ada seorang legislatif dan ada pemberian berupa zakat, infak
dan sedekah. Namun tidak pernah menghadap dan berhubungan dengan pejabat legislatif
tersebut, apakah masuk gratifikasi ?
“Jika tidak berhubungan
dengan jabatan, maka bukan gratifikasi. Tetapi masuk zakat,” jawab Ahli singkat
saja.
Begitu pula, pemberian
atau iuran pada PCNU, tidak sepengetahuan tersangka, maka tidak masuk
gratifikasi..
Sedangkan Puput bertanya pada Ahli, jika penyelenggara
negara tidak pernah tahu gratifikasi itu, apakah bisa dianggap melakukan
gratifikasi ?
“Ya, tidak masuk
gratifikasi,” jawab saksi yang memberikan keterangan dan pendapat selama tiga
jam lamanya di persidangan.
Puput sempat bertanya
pada Ahli, adanya deposito dan asuransi yang dicairkan, secara sepihak. Bahkan
tahunya di persidangan, apa Ahli bisa menjelaskan hal ini ?
“Perbuatan itu telah
melanggar KUHAP. Bisa dipraperadilankan untuk penyitaannya,” kata Ahli dengan
nada tegas.
Nah, setelah keterangan Ahli
dirasakan sudah cukup, Hakim Ketua Ferdinand Marcus Leander SH MH
mengatakan, sidang akan dilanjutkan pada Jum’at (6/12/2024) pagi, dengan agenda
pemeriksaan Puput dan Hasan. (ded)
0 komentar:
Posting Komentar