728x90 AdSpace

  • Latest News

    Jumat, 13 Desember 2024

    Ahli Pidana, Dr Sholehudin SH MH : "Perkara Ini Masuk Kategori 'Nebis In Idem’ "

     




    SIDOARJO  (mediasurabayarek.net) –  Ahli pidana,Dr Sholehudin SH MH dari Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya menegaskan, bahwa suatu perbuatan yang dilakukan seseorang dan ada beberapa yang ditemukan. Kemudian pemeriksaan dan penuntutan, hingga mendapatkan kekuatan hukum tetap. Maka tidak boleh diputus lagi.

    “Penuntutan tidak boleh diincrit-incrit (dicicil-red) atau penuntutan terhadap kasus serupa tidak boleh dilakukan oleh Penuntut Umum. Jika hal ini sampai dilakukan dikatakan ‘Nebis In Idem’,” ucap Ahli dalam sidang lanjutan Mantan Bupati Probolinggo, Puput Tantriana Sari dan Hasan Aminuddin, yang digelar di ruang Candra Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Surabaya, Kamis (12/12/2024).

    Demikian halnya dengan Logis Sitatis, pemeriksaan perkara berbarengan, namun jika ditemukan perbuatan hukum, jangan sampai ada penuntutan ulang. Di sini, harusada kepastian hukum. Penegakan hukum, harus dengan hukum agar tidak sampai terjadi kesewenang-wenangan.

    Giliran Penasehat Hukum (PH) Kristanto SH dan Ari Mukti SH bertanya pada Ahli, yang bertanya dengan ilustrasi yang disampaikan di persidangan. Ada 2 (dua) sprindik yang diterbitkan penyidik, yakni sprindik suap dan sprindik gratifikasi dan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang). Sprindik itu diterbitkan beda tahun dan harinya.

    Dalam perkara itu, subyek hukumnya si A dan si B, apakah dapat dikategorikan Nebis In Idem ?

    “Ya, Nebis In Idem. Jika ada peristiwa sejak awal dan penyidik tahu akan hal itu. Penyidik harus mencari bukti-bukti guna menemukan tersangkanya. Jika sprindik diterbitkan dua kali, ini tidak boleh. Penuntutan tidak boleh dipisah-pisah begitu. Ujung-ujungya sama, merugikan tersangka. Sedangkan hakim bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan,” jawab Ahli  Dr Sholehudin SH MH, yang juga Ketua Program Studi (Prodi) Magister Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya ini.

    Menurutnya, seseorang boleh dituntut kembali, jika orangnya beda. Ada delik yang tertinggal dan tahunya belakangan.

    Kembali PH Ari Mukti SH bertanya pada Ahli, tolong dijelaskan mengenai suap dan gratifikasi itu dan apa bedanya ?

    “Pada dasarnya, gratifikasi itu suap. Akan tetapi, rumusan suap dan gratifiasi itu berbeda. Fakta pokoknya, penerimaan suap. Bahwa setiap pemberian pada PNS atau penyelenggara negara dianggap suap,” jawab Ahli lagi.

    Dianggap gratifikasi jika berhubungan dengan jabatannya sebagai penyelenggara Negara dan bertentangan dengan kewajibannya. Jika gratifikasi nilainya Rp 10 juta ke atas, maka beban pembuktian ada pada tersangka.

    Dan sebaliknya, jika nilai gratifikasinya di bawah Rp 10 juta, menjadi beban pembuktian Jaksa.

    Ahli memberikan contoh, pejabat negara mantu (menikahkan anaknya) dan ada undangan yang bowo (memberikan uang) sebesar Rp 1 miliar. Apakah pemberian itu ada hubungan dengan jabatan yang punya hajatan atau pejabat yang bersangkutan.

    Di sini, harus dibuktika dulu apakah adanya gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajibannya. Ini sebagaimana diterangkan dalam pasal 13 huruf B.

    “Dalam hukum pidana tidak bisa digebyah uyah (disamaratakan-red). Misalnya dalam deneming (penyertaan) harus jelas aktornya dan pembantunya siapa. Kapasitasdan kualitas perbuatan harus dibuktikan,” cetus Ahli.

    Sementara itu, Hasan yang diberikan kesempatan bertanya pada Ahli, jika dalam fakta sidang, semua pemborong dan pejabat tidak pernah menghadap tersangka utama. Tetapi menghadap turut serta. Dakwaan Jaksa seakan-akan dari awal berasumsi. Bahkan disumpah Al-qur’an satu truk berani. Bagaimana pendapat Ahli ?

    “Harus dibuktikan dan berhubungan dengan jabatan,” jawab Ahli.

    Lagi-lagi Hasan bertanya pada Ahli, bahwa ada seorang legislatif dan ada pemberian berupa zakat, infak dan sedekah. Namun tidak pernah menghadap dan berhubungan dengan pejabat legislatif tersebut, apakah masuk gratifikasi ?

    “Jika tidak berhubungan dengan jabatan, maka bukan gratifikasi. Tetapi masuk zakat,” jawab Ahli singkat saja.

    Begitu pula, pemberian atau iuran pada PCNU, tidak sepengetahuan tersangka, maka tidak masuk gratifikasi..

    Sedangkan  Puput bertanya pada Ahli, jika penyelenggara negara tidak pernah tahu gratifikasi itu, apakah bisa dianggap melakukan gratifikasi ?

    “Ya, tidak masuk gratifikasi,” jawab saksi yang memberikan keterangan dan pendapat selama tiga jam lamanya di persidangan.

    Puput sempat bertanya pada Ahli, adanya deposito dan asuransi yang dicairkan, secara sepihak. Bahkan tahunya di persidangan, apa Ahli bisa menjelaskan hal ini ?

    “Perbuatan itu telah melanggar KUHAP. Bisa dipraperadilankan untuk penyitaannya,” kata Ahli dengan nada tegas.

    Nah, setelah keterangan Ahli dirasakan sudah cukup,  Hakim Ketua Ferdinand Marcus Leander SH MH mengatakan, sidang akan dilanjutkan pada Jum’at (6/12/2024) pagi, dengan agenda pemeriksaan Puput dan Hasan. (ded)

     

     

     

     

     

     


    • Blogger
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Ahli Pidana, Dr Sholehudin SH MH : "Perkara Ini Masuk Kategori 'Nebis In Idem’ " Rating: 5 Reviewed By: Media Surabaya Rek
    Ke Atas