SIDOARJO (mediasurabayarek.net) - Sidang lanjutan Edy Suyitno dan Rian Mahendra, yang tersandung dugaan perkara korupsi , memasuki babak jawaban Jaksa atas eksepsi (nota keberatan) yang diajukan Penasehat Hukum (PH)-nya , yakni Adv Dedi RH SH pada sidang sebelumnya.
Dalam surat jawaban Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dian SH dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Bondowoso menyebutkan, bahwa eksepsi telah memasuki pembuktian pokok perkara.
"Kami memohon majelis hakim untuk menolak seluruh eksepsi dari Edy Suyitno dan Rian Mahendra. Surat dakwaan Jaksa sudah sesuai syarat formil dan materiil," ucapnya di ruang Cakra Pengadilan TIPIKOR Surabaya.
Eksepsi yang diajukan oleh Edy Suyitno dan Rian Mahendra patut ditolak dan dikesampingkan.Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Surabaya berwenang mengadili perkara.
"Mohon majelis hakim Pengadilan TIPIKOR Surabaya mengadili perkara ini dan menolak seluruh eksepsi Edi Suyitno dan Rian Mahendra.Pengadilan TIPIKOR Surabaya berwenang mengdaili perkara ini, karena memenuhi syarat formil dan materiil," ujarnya Jaksa Dian SH.
Nah setelah Jaksa membacakan jawabannya, Hakim Ketua Ni Putu Sri Indayani SH MH menyatakan, majelis hakim akan mengambil putusan sela pada Rabu, 16 Oktober 2024 mendatang.
"Baiklah, giliran majelis hakim akan membacakan putusan sela pada Rabu depan ya," katanya seraya mengetukkan palunya sebagai pertanda sidang selesai dan berakhir.
Sehabis sidang , Adv Dedi RH SH mengatakan, bahwa lebih tepatnya, kasus ini harus menggunakan pendekatan hukum administratif dan aspek hukum keperdataan.
Bahwa kasus ini harus dilihat dalam konteks hukum jasa konstruksi, yang diatur dalam UU No.2 Tahun 2017 tentang Jasa konstruksi. UU ini mengatur seluruh aspek pelaksanaan proyek konstruksi, termasuk kewajiban pelaksana proyek untuk memenuhi standar mutu dan ketentuan teknis yang berlaku..
"Jika terjadi pelanggaran terhadap kontrak kerja atau ketentuan teknis, UU Jasa Konstruksi menyediakan mekanisme sanksi administratif yang dapat diterapkan kepada pelaksana proyek," kata Adv Dedi RH SH.
UU Jasa konstruksi mengatur apabila penyedia jasa menyerahkan hasil pekerjaaannya secara tidak tepat biaya, tidak tepat waktu mutu, dan atau tidak tepat waktu , dikenai ganti kerugian sesuai dengan kesepakatan.
Bahkan apabila menyebabkan gagal bangunan pun tetap dikenakan sanksi administratif. Bahkan secara jelas dan terang tercantum dalam penjelasan umum UU No 2 Tahun 2017 tentang jasa konstruksi , yang secara terang menghapuskan pendekatan pidana beralih menjadi pendakatan administratif dan perdata.
Dalam kasus ini, kekurangan volume pekerjaan yang ditemukan oleh BPK dan telah diganti oleh CV Raelina Dwikania Jaya telah diselesaikan dengan penyelesaian pelanggaran administratif dengan ganti kerugian dan dapat diselesaikan melalui denda administratif lainnya, tanpa perlu adanya penegakan hukum pidana.
Dalam kasus ini, BPK telah melakukan audit terhadap proyek rekonstruksi jalan Bata Tegal Jati dan menemukan kekurangan volume yang menyebabkan kerugian daerah sebesar Rp 37.026. 361.
Temuan tersebut telah diselesaikan dan dibayarkan oleh CV Raelina Dwikania Jaya melalui pengembalian dana.
Namun, audit selanjutnya yang dilakukan oleh ahli independen atas permintaan Kejaksaan Negeri Bondowoso menunjukkan adanya kerugian negara yang lebih besar, yaitu RP 2,262 miliar.
Walaupun kerugian demikian, juga telah dilakukan pengembalian dengan etikad baik. Timbulnya perbedaan ini memunculkan pertanyaan tentang metode audit yang digunakan oleh ahli independen tersebut dan dasar perhitungan yang dipakai.
Menurut UU No.15 Tahun 2006, bahwa BPK memiliki kewenangan ekskusif untuk melakukan audit terhadap pengelolaan keuangan negara. Sehingga audit yang dilakukan oleh pihak lain, tanpa kewenangan formal dapat dianggap tidak sah.
Oleh karena itu, jika terdapat perbedaan hasil audit, maka perhitungan kerugian negara serharusnya merujuk pada audit resmi yang dilakukan oleh BPK, bukan oleh pihak ketiga.
Hal ini sangat penting untuk memastikan bahwa perhitungan kerugian negara didasarkan pada audit yang sah dan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.
Pendekatan hukum pidana yang diambil oleh JPU tampanya tidak sejalan dengan prinsip Ultimum remedium. Mengingat bahwa kesalahan dalam proyek ini telah diselesaikan melalui pengembalian dana kekurangan volume dan pelanggaran yang terjadi lebih bersifat administratif. Penerapan sanksi pidana tampak berlebihan.
"Dengan demikian, Edy Suyitno dan Rian Mahendra seharusnya tidak dihukum berdasarkan UU Tipikor. Melainkan diselesaikan melalui sanksi administratif sesuai dengan UU Jasa konstruksi," ungkapnya.
Dijelaskan kata Adv Dedi RH SH, pokok keberatan eksepsi terhadap dakwaan Jaksa tentang majelis hakim Pengadilan TIPIKOR Surabaya tidak berwenang mengadili perkara ini.
Karena berdasarkan UU Jasa Konstruksi, Perpres Pengadaan Barang dan Jasa , disebutkan bahwa kekurangan spek itu adalah pelanggaran administratif yang harus ditegakkan hukumnya adalah hukum administratif.
"Kami berpendapat bahwa Pengadilan TIPIKOR Surabaya tidak berwenang . Terlebih sebelum pengungkapan oleh Penuntut Umum BPK telah melakukan audit dan menemukan kerugian keuangan negara Rp 37 juta sekian. Dan hal itu sudah dikembalikan oleh Edy (Direkturnya),"tukasnya. (ded)
. Kerugian Negara Sudah Dikembalikan
0 komentar:
Posting Komentar