SURABAYA (mediasurabayarek.net) - Sidang lanjutan terdakwa I (Suyitno) dan terdakwa II (Sujadi),yang tersandung dugaan perkara korupsi , terus bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya.
Kali ini agenda sidang adalah pembacaan nota keberatan (eksepsi) yang dibacakan oleh Ketua Tim Pengacara, Ernawati SH MH di ruang Candra Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Selasa (19/3/2024).
Setelah Hakim Ketua Sudarwanto SH membuka sidang dan terbuka untuk umum, langsung mempersilahkan kepada Ketua Tim Pengacara, Ernawati SH MH untuk membacakan eksepsinya di persidangan.
"Silahkan Penasehat Hukum untuk membacakan eksepsinya," ucapnya di persidangan.
Dalam eksepsinya, PH Ernawati SH MH menyebutkan, bahwa terdakwa merasa surat dakwaan Jaksa yang sangat tendensius, merugikan dan melanggar hukum terdakwa.
"Surat dakwaan tidak cermat dan haruslah batal demi hukum, karena tidak jelas uraian fakta dan dari 8 (delapan) orang yang bersama-sama melakukan (perbuatan-red). Kenapa semua dipersalahkan hanya kepada para terdakwa," ucapnya.
Menurut Ernawati SH MH , Tim Penasehat Hukum melihat adanya rentetan pelanggaran asas due process of law yang dilakukan oleh Penuntut Umum dalam proses penyidikan, prapenuntutan hingga penuntutan perkara yang menyangkut diri para terdakwa.
Terungkap pada sidang pertama terdhulu, bahwa Penuntut Umum melakukan pelanggaran Hukum Acara Pidana, khususnya pasal 143 ayat (4) KUHAP, karena surat dakwaan seharusnya disampaikan pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan ke Pengadilan Negeri.
Faktanya , Tim Penasehat Hukum para terdakwa baru menerima surat dakwaan satu hari sebelum sidang pertama dibuka.
Juga adanya pelanggaran pasal 39 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/2010. Dalam Peraturan Jaksa Agung tersebut diatur kewajiban Jaksa memberikan salinan berkas perkara hasil penyelidikan kepada tersangka/terdakwa.
Namun sampai sidang perkara ini dibuka, para terdakwa tidak pernah menerima salinan perkara dimaksudkan.
"Di muka sidang melalui Yang Mulia Majelis Hakim Pemeriksa Perkara, Tim Penasehat Hukum para terdakwa secara resmi meminta salinan berkara perkara penyidikan. Namun secara normatif Penuntut Umum menjawab menunggu petunjuk pimpinan," katanya.
Sebelum perkara ini dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor, para terdakwa sudah mengajukan permohonan praperadilan kepada Pengadilan Negeri Ponorogo dengan dasar tidak sahnya penetapan tersangka terhadap para terdakwa.
Ini karena melanggar pasal 106 KUHAP, terkait SPDP yang tidak dikirim oleh penyidik (incasu penyidik adalah Tim Penuntut Umum perkara aquo). Melanggar pasal 5 Peraturan Jaksa Agung No 39 Tahun 2010 , karena melampaui batas waktu penyelidikan
Juga melanggar pasal 422 Peraturan Jaksa Agung No 39 Tahun 2010 karena melampaui batas waktu penetapan tersangka, yakni maksimal 50 hari, seharusnya sudah ditetapkan tersangka, namun baru ditetapkan tersangka setelah 269 hari.
Dan melanggar pasal 497 Peraturan Jaksa Agung No 39 Tahun 2010 karena melampaui batas waktu penyidikan. yaitu maksimal 100 hari penyidikan sudah harus selesai. Namun, faktanya berkas perkara baru selesai di tanggal 5 Maret 2024 atau 365 hari , setelah Surat Perintah Penyidikan keluar.
Serta melanggar pasal 33 ayat (1) KUHAP dan pasal 439 Peraturan Jaksa Agung Nomor PERJA-039/A/J.A/10/2010, karena penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan tidak dengan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri Ponorogo.
Praperadilan yang diajukan oleh para terdakwa tersebut gugur, karena pada sidang pertama tanggal 1 Maret 2024, termohon incasu penyidik yang merupakan Penuntut Umum dalam perkara ini tidak hadir, sehingga sidang ditunda pada tanggal 7 Maret 2024.
Pada hari Senin tanggal 4 Maret 2024, penyidik masih memeriksa saksi a de charge. Namun luar biasanya, pada hari yang sama berkas sudah bisa dinyatakan lengkap. Dan pada tanggal 5 Maret 2024 berkas dan tersangka sudah dilimpahkan dari penyidik kepada Penuntut Umum.
"Sehingga permohonan praperadilan dinyatakan gugur pada tanggal 7 Maret 2024, karena pada tanggal 6 Maret 2024 berkas sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Surabaya," kata Ernawati SH MH.
Adanya pelanggaran terhadap asas due process of law tersebut mengakibatkan surat dakwaan yang merupakan hasil dari proses penyidikan tersebut menjadi sangat tendensius, merugikan terdakwa dan melanggar hak-hak hukum terdakwa.
"Dakwaan Penuntut Umum tidak memenuhi syarat materiil surat dakwaan. Karena tidak jelasnya uraian perbuatan pidana yang didakwakan. Perbuatan yang didakwakan bukan dilakukan oleh para terdakwa, karena terdakwa bukanlah orang yang mempunyai kewenangan memberikan perintah incasu dalam perkara ini. Hanya Kepala Desa Sariono yang berwenang memerintah para Kamituwo," ungkapnya.
Dijelaskan Ernawati SH MH, surat dakwaan tidak jelas dan terang menguraikakan mengenai tindak pidana yang didakwakan.
"Dakwaan Jaksa batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat materiil surat dakwaan, sebagaimana diatur dalam pasal 143 ayat 2 KUHAP," tukasnya. (ded)
0 komentar:
Posting Komentar