SIDOARJO (mediasurabayarek.net) - Pembacaan nota pembelaan (pledoi) dibacakan oleh Ketua Tim Penasehat Hukum (PH) terdakwa, Julian SH didampingi Irma SH dalam sidang lanjutan terdakwa Tjitro Wirjo Hermanto, yang tersandung dugaan perkara korupsi dalam kerjasama pengelolaan gedung sentra kulakan koperasi (Senkuko) Kota Pasuruan, di ruang Cakra Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, JUm'at (26/1/2024).
Setelah Hakim Ketua Halimah SH membuka sidang dan terbuka untuk umum , langsung memberikan kesempatan pada PH Julian SH untuk membacakan pledoinya.
"Silahkan PH terdakwa untuk membacakan pledoinya. Kalau bisa pokok-pokoknya saja," ucapnya Hakim Ketua Halimah SH.
Dalam pledoinya, PH Julian SH menyatakan, pihaknya memohon kepada majelis hakim agar menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan korupsi kerjasama pengelolaan gedung sentra kulakan koperasi (Senkuko) Kota, Pasuruan,sebagaimana dakwaan dan tunutan Jaksa.
Oleh karenanya, terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan maupun tuntutan JPU. Mengembalikan harkat dan martabat terdakwa semula dan membebaskan dari tahanan, serta membebankan biaya perkara kepada negara.
Kalaupun, majelis hakim mempunyai pendapat lain, mohon kiranya putusan yang seadil-adilnya.
"Penerapan unsur melakukan hukum yang dilakukan JPU, menurut hemat kami kurang tepat, karena melawan hukum itu harus membuktikan adanya pelanggaran peraturan daerah. Baik pelanggaran peraturan daerah maupun hak retribusi yang diatur dalam peraturan pemerintah itu, menurut kami belum bisa dibukitkan oleh JPU," ucapnya.
Kemudian, ada fakta-fakta persidangan lain, bahwa perjanjian itu adalah perjanjian perpanjangan yang seharusnya diakomodir oleh Kejaksaan dalam penerapan unsur melawan hukum dalam tuntutannya tersebut.
Namun, hal itu diabaikan oleh JPU. Sehingga terjadilan kekeliruan sangkaan bahwa telah melakukan perbuatan melawan hukum. Padahal, sebetulnya belum terjadi perbuatan melawan hukum itu.
"Sehingga kami meminta pada majelis hakim agar terdakwa dibebaskan. Selain itu, kami sudah mendapatkan surat dari BPK Propinsi Jatim, bahwa sebetulnya tidak ada kerugian negara. Melainkan hanyalah revisi dari perjanjian. Ini seharusnya diperhatikan oleh JPU , namun itu semua diabaikan dan terjadi kekeliruan penerapan unsur-unsur dalam penerapan hukum dalam surat tuntutan Jaksa tersebut," ujar PH Julian SH.
Menurutnya, sidang akan dilanjutkan dengan agenda replik (jawaban jaksa atas pledoi terdakwa) pada senin, 29 Januari 2024 mendatang. Dan dupliknya akan dilaksanakan pada Jum'at, 2 Februari 2024.
Dalam sidang sebelumnya, PH terdakwa, Manap SH mengatakan, ada perjanjian pada 2008 sesuai prosedur, tetapi kalau versi Jaksa tidak sesuai prosedur.
"Tetapi kalau menurut kami yang tahu prosedur itu Pemkot, kita hanya menuruti dan mengiyakan," cetusnya.
"Kalau sesuai perjanjian, retribusi Rp 10 juta dan kontribusi sebesar Rp 15 juta (total Rp 25 juta)sudah dibayar semuanya. Cuman, versinya Jaksa kurang bayar dan tidak segitu. Tetapi, yang menentukan retribusi dan kontribusi itu Pemkot. Bukan kita," katanya.
Tetapi anehnya, di antara perjanjian itu Pak Tjitro bukan yang tanda tangan. Yang tanda tangan itu Ketua Koperasi, Anik dan Walikota. Tetapi Walikota belum dijadikan tersangka.
Namun demikian, tidak ada teguran atau somasi mengenai kurang bayar itu. Intinya, Tjitro sudah bayar penuh dan sesuai perjanjian yang dibuat. Apabila kurang bayar, seharusnya ada teguran atau somasi dari Pemkot Pasuruan.
"Ini rancu, antara membedakan Koperasi dan individu Pak Tjitro. Sekarang yang bertanggungjawab adalah yang bertanda tangan dalam perjanjian. Pak Tjitro tidak tanda tangan dalam perjanjian itu," ungkap Manap SH.
Tjitro tidak seharusnya dijadikan tersangka dalam perkara ini. Apakah dia pemilik modal yang besar dan dijadikan tersangka ? Kan, seharusnya ada peran aktif di situ.
Sebagaimana keterangan Ahli pidana DR Sholehuddin SH MH dan ahli Hukum Administrasi Negara, M. Ridwan Arif Amrullah Sh Mhum dari Universitas Jember,
Kalau ada pelanggaran hukum , ahli pidana maupun Administrasi negara menegaskan, pelanggaran hukum atau adminitrasi, atau perdata. Bukan melawan hukum, tidak ada unsur pidananya.
"Pengalihan Mulyono ke Pak Tjitro itu pada tahun 2004 , sedangkan PP-nya Tahun 2006, Permendagri Tahun 2007 dan Perda-nya dibuat tahun 2008. Perbuatan Pak Tjitro tahun 2004, masak bisa diberlakukan surut. Gitu aja sudah," tandasnya.
Manap SH meminta, Tjitro dibebaskan dari segala dakwaan Jaksa, seharusnya yang bertanggung yang tanda tangan dalam perjanjian itu. Pak Tjitro tidak tanda tangan . (ded)
0 komentar:
Posting Komentar