SURABAYA (mediasurabayarek.com) - Sidang lanjutan Linda Leo Darmosuwito, yang tersandung dugaan perkara pemalsuan surat keterangan perkawinan, kali ini dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli pidana, yakni DR Priya Jatmika SH MH yang digelar di ruang Cakra Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (25/11/2021).
Dalam keterangannya, ahli DR Priya Jatmika SH MH yang mengajar sebagai dosek Fakultas Hukum (FH) Unbraw menyatakan, pegangan penyidik dan hakim dalam memutus perkara adalah adanya minimal 2 (dua) alat bukti yang cukup. Alat bukti bisa berupa keterangan saksi, alat bukti surat, keterangan ahli, alat bukti petunjuk dari hakim, sebagaimana diatur pasal 184 KUHAP.
"(Sebenarnya) kekuatan itu ada di depan persidangan. (Kalau seseorang dituduh) melakukan pemalsuan surat, maka siapa yang mendalilkan itu harus membuktikan di persidangan. Jika pelapor mendalilkan memalsukan surat, namun terlapor tidak memalsukan. Tidak pernah tanda tangan surat , penyidik labfor forensik harus memeriksa tanda tangan itu identik atau tidak," ucapnya.
Menurut ahli DR Priya Jatmika SH MH , kalau tidak dilakukan labfor forensik, maka sebagai alat bukti kurang kuat di persidangan. Hal ini bertentangan dengan proses penyidikan dan harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
"Kalau hasil labfor menyatakan non identik, maka dia bukan pelakunya," ujarnya singkat.
Giliran Penasehat Hukum (PH) Yohanes Dipa SH didampingi Salawati Taher SH bertanya pada ahli dengan mengilustrasikan, ada fotokopi surat dan tidak ada aslinya. Surat fotokopian itu, diperlihatkan pada saksi saksi dan menyatakan bukan tanda tangan (terdakwa Linda Leo) dan tidak identik, bagaimana pendapat ahli ?
"(Dikatakan) membuat surat palsu itu , harus ada bukti orisinil atau aslinya. Dan harus dilabforkan. Surat yang diduga palsu itu, harus dibandingkan dengan surat aslinya. Akibat surat palsu itu menimbulkan kerugian orang lain. Ini sebagaimana dalam pasal 263 dan 264 KUHP," jawab ahli DR Priya Jatmika SH MH.
Kembali Yohanes Dipa SH bertanya pada ahli dan mengilustrasikan, jika ada suami-istri yang telah melangsungkan perkawinan dan kemudian bercerai. Lantas, mantan suami melaporkan sang istri, karena merasa dibohongi mantan istri yang katanya perawan.
"Namun, mantan istri mengaku tidak membuat surat keterangan masih perawan itu, dan tidak pula menandatangai surat tersebut. (Atas hal ini) bagaimana pendapat ahll ?," tanya Yohanes Dipa SH.
Ahli DR Priya Jatmika SH MH menjawab, surat keterangan fotokopian itu tidak kuat menjadi alat bukti. Kalau ada surat palsu, harus dicocokan dengan aslinya. Seandainya, surat keterangan yang palsu itu digunakan oleh keduanya, maka keduanya kena (sanksi pidana).
"Kalau tidak mengetahui dan tidak membuat surat keterangan dan tidak menghendakinya. Maka surat itu harus dilabfor dulu. Jika tidak ada aslinya, hanya fotokopi saja. (Yang bersangkutan-Linda Leo) tidak bisa dipidana. Surat berupa fotokopian itu, kekuatan pembuktiannya lemah," jawabnya.
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sabethania SH dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa-Timur menanyakan pada ahli, jika ada saksi yang menyatakan surat keterangan itu sudah digunakan, bagaimana pendapat ahli ?
"(Tetap) harus ada aslinya. Jika surat keterangan itu dikatakan palsu, harus ada aslinya," kata DR Priya Jatmika SH MH.
Setelah mendengarkan keterangan ahli dan dirasakan sudah cukup, Hakim Ketua Suparno SH Mhum mengatakan, sidang akan dilanjutkan lagi pada Senin , 6 Desember 2021 dengan agenda pemeriksaan satu saksi lagi.
"Kami sudah memanggil saksi lagi dan bisanya hadir pada Senin, 6 Desember nanti," cetus Yohanes Dipa SH.
Sehabis sidang, Yohanes Dipa SH mengungkapkan, ahli pidana tadi secara tegas menerangkan bahwa pasal 263 dan 264 KUHP itu, tidak bisa diterapkan pada pelaku yang menyuruh memasukkan keterangan palsu dalam akte otentik.
"Andai kata, menurut dakwaannya seperti itu, menyuruh menempatkan keterangan palsu, tetapi menggunakan pasal 263 KUHP. Seharusnya menggunakan pasal 266 KUHP," tukasnya.
Masih kata Yohanes Dipa SH, terkait surat palsu yang paling penting dan harus dibuktikan adalah ada nggak surat orisinilnya atau aslinya.
"(Surat) aslinya mana ? Kan nggak bisa. Kekuatan pembuktian suatu surat itu terletak pada bukti aslinya. Kalau bukti aslinya tidak pernah diperlihatkan dan dibuktikan keberadaannya. Maka, tidak bisa digunakan sebagai alat bukti surat,sebagaimana dimaksud pasal 184 KUHAP," tandasnya.
Dan sebagai perbandingan, dalam pasal 1888 KUH Perdata pun, menyatakan bahwa kekuatan pembuktian surat terletak pada akte otentik atau akte aslinya.
"Kalau tidak ada aslinya, tidak bisa dikatakan sebagai bukti surat. Untuk Bu Linda, tidak ada satu saksi pun mengetahui kalau Bu Linda yang membuat surat itu. Jaksa tidak bisa membuktikan dakwaannya, bahwa Linda yang menyuruh atau menggunakan surat itu," tegas Yohanes Dipa SH.
Dilanjutkan Yohanes Dipa, bahwa fakta itu bukan di luar persidangan. Tetapi, fakta itu yang terungkap di persidangan.
"Nggak bisa fakta di BAP. Yang terungkap di persidangan, nggak ada saksi satu pun yang mengetahui Bu Linda yang menggunakan atau menyuruh atau yang membuat surat itu. Jaksa tidak bisa membuktikan dakwaannya," katanya. (ded)
0 komentar:
Posting Komentar