SURABAYA (mediasurabayarek.com) - Kali ini sidang lanjutan terdakwa Guntual dan Tutik Rahayu , yang tersandung dugaan perkara ITE, memasuki agenda jawaban atas tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas nota keberatan (eksepsi) yang disampaikan oleh para terdakwa dan Penasehat Hukum (PH) Rommel Sihole SH, yang digelar di ruang Tirta 1 Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (18/10/2021).
Dalam tanggapan para terdakwa atas pendapat JPU , Guntual dan Tutik Rahayu menyatakan, bahwa laporan UU ITE pasal 27 ayat 3 adalah tindak pidana delik aduan. Proses perkara ini sejak di kepolisian sudah aneh dan ajaib.
Di mana korbannya tidak pernah di BAP Penyidik. Pelapornya hanya pakai surat tugas dan yang menjadi korbannya adalah pengadilan. Pelapornya hanya mewakili korban menggunakan surat tugas , maka secara otomatis unsur pidana sesuai KUHP pasal 1 ayat (1) tidak memenuhi.
Kalau saja Jaksa peneliti perkara dimaksud selaku pengendali penyidikandi kepolisian, pra penuntutan, berintegritas tinggi, serta obyektif dan profesional mengikuti ketentuan, dapat dipastikan perkara aquo ditolak dan tidak P-21.
"Kami tidak pernah menerima dan mengakui perkara ini diajukan ke pengadilan, terutama bila mencermati materi aduannya, yakni soal hakim kena sogok dan restorative justice. Kedua hal tersebut, menjadi gugur tidak bisa lagi dibuat sebagai dalil pemidanaan terkait unsur fitnah dan pencemaran," ucapnya.
Menurut Guntual, sebab hakim yang diprotes sudah dijatuhi sangsi oleh KY Nomor : 0334/L/KY/XI/2018. Sedankan restorative justice, kepolisian, kejaksaan dan Mahkamah Agung sudah mengadopsi melalui Perpol No 8 Tahun 2020, Perja No 15 Tahun 2020 serta SK Dirjen Badilum No 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020.
Oleh karena alasan tersebut, menggangap Jaksa pengendali selaku peneliti perkara aquo, tidak cerdas alias ingin dan (diduga) membodohi masyarakat dan pembohongan publik.
"Sehingga kami tidak pernah mau mendengar dan mengetahui isi dakwaan secara keseluruhan, meskipun sudah dua kali dibacakan oleh JPU di muka persidangan. Atas pertimbangan ini semua, kami putuskan untuk tetap tidak dalam argumentasi membahas materi dakwaan," ujar Guntual.
Mencermati uraian poin 1 dan 2 di atas, sangatlah jelas bila seluruh rangkaian proses hukum yang dilakukan oleh Gatot Haryono SH atas nama Kejaksaan Republik Indonesia bukan atas nama hukum. Sesuai amanat UUD 45 pasal 1 ayat (3) Indonesia adalah berdasarkan negara hukum, yang mengharuskan setiap warga negara patuh pada hukum.
Akan tetapi, suka sukanya sendiri terhadap hal ini jaksa diduga sudah ngawur dan salah menggunakan kewenangannya sesuai UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia jo KUHAP dan KUH Pidana, SEJA No SE-001/JA/4/1995 tentang pedoman tuntutan.
Seharusnya, Jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya , senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesi sebagai jaksa.
"Oleh karena itu, kami tetap menolak dan sangat keberatan atas seluruh proses hukum dilaksanakan tidak mengikuti ketentuan Undang Undang. Maka sudah sepatutnya dakwaan JPU harus ditolak dan dinyatakan batal demi hukum," kata Guntual.
Bukan hanya pada materi dakwaan dan isinya maupun pada pokok perkaranya. AKan tetapi pada substansi seluruh permasalahannya yang tidak memiliki unsur pidana materiil maupun formil apapun.
Tetapi, karena Jaksa Pengendali Prapenuntutan selaku jaksa peniliti yang sudah berani mempermainkan hukum. Sehingga perkara aquo sampai ke persidangan ini. Dengan demikian maka sudah sepatutnya dakwaan JPU harus ditolak dan dinyatakan batal demi hukum.
Dijelaskannya, Pidana Khusus itu berbeda dengan Pidana Umum, sehingga Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejari Sidoarjo bernama Sdr Lingga Nuarie SH dan bukan Gatot Haryono.
Sementara itu, Penasehat Hukum (PH) terdakwa, yakni Rommel Sihole SH, mengatakan, bahwa eksepsi yang diajukan substansnya menyangkut 4 hal, yakni pada bagian pendahuluan berkaitan dengan keabsahan persidangan pemeriksaan perkara in casu yang didasarkan pada Surat Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor 100/KMA/SK/V/2021 Tentang Penunjukan Pengadilan Negeri Surabaya untuk memeriksa dan memutus perkara pidana atas nama Guntual bin Abdullah Dkk.
Kedua mengenai keabsahan persidangan hari Senin 27 September 2021 dengan agenda pembacaan dakwaan tanpa hadirnya para terdakwa, dikaitkan dengan bunyi pasal 154 UU RI No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Ketiga, surat dakwaan melanggar azas Ne Bis in idem (pasal 76 KUHP) dan keempat, surat dakwaan Jaksa tidak memenuhi syarat materiil yang berakibat dakwaan jaksa batal demi hukum.
"Kami tetap berpendapat dan memohon pada majelis hakim Yang Mulia agar nota keberatan kami diterima untuk seluruhnya," pinta Rommel Sihole SH.
Setelah pembacaan tanggapan para terdakwa atas pendapat JPU dirasakan sudah cukup, Hakim Ketua Darwanto SH MHum mengungkapkan, majelis hakim akan mengambil putusan sela pada Senin (1/11/2021).
"Untuk putusan sela, majelis hakim minta waktu dua minggu, yakni Senin (1/11/2021)," tukasnya seraya mengetukkan palunya sebagai tanda sidang ditutup dan selesai.
Sehabis sidang, Guntual menegaskan, dirinya tidak pernah mendengar dakwaan jaksa dan tidak pernah membaca, serta menjawab sesuai argumentasi. Hukum itu, bukan serta merta seorang jaksa memperlakukan masyarakat sesuka sukanya dia.
"Saatnya masyarakat lebih teliti dan aware terhadap prilaku jaksa yang tidak benar. Jadi, seolah olah hukum kita ini apa kata jaksa. Saya protes itu. Tidak ada satupun unsur pidana , tetapi karena jaksa punya kewenangan dan sesuai ketentuan KUHAP. Kami harus masuk ke pengadilan. Seharusnya, nggak ada itu," tandasnya.
Sementara itu, Tutik Rahayu dan PH Rommel SH menjelaskan, bahwa terhadap suatu perkara itu tidak pernah dibacakan dalam dua kali dakwaan. Terkait perkara pemindahan itu bukan harus berdasarkan permohonan, tetapi berdasarkan KUHAP yang disudah dijelaskan di daerah setempat pengadilan itu ada gempa. Sifat permohonan hanya dari beberapa pertimbangan.
Diungkapkan Rommel SH, surat dakwaan Jaksa tidak memenuhi syarat materiil , karena tidak sebutkan secara jelas mengenai tindak pidana yang dilakukan. Pun, dalam dakwaan tidak sebutkan surat pengaduan dalam tanggapan terhadap eksepsi, seakan akan berusaha memperbaiki dakwaannya yang tidak penuhi syarat materiil itu.
Mereka (jaksa-red) terjebak dalam situasi yang sudah keliru sebelumnya, sehingga mereka berusaha memperbaiki. Atau dengan kata lain, melakukan pengakuan secara diam diam. Tetapi dalam hukum hal itu tidak boleh dilakukan, kalau dakwaan sudah dibacakan di persidangan ya sudah, tidak boleh diperbaiki.
Ada yang menggelitik hati PH terdakwa, selama 30 tahun jadi advokat tidak pernah ada dakwaan dibacakan dua kali di pengadilan yang berbeda. Ini aneh bin ajaib. (ded)
0 komentar:
Posting Komentar